Written by Yoga Yuwana 0 komentar Posted in:

Penjurian yang ideal, Bagaimana seharusnya ?
Dalam setiap pameran (kontes) bonsai selalu terjadi kontroversi soal hasil penilaian para juri. Ketidak-puasan selalu saja muncul dalam berbagai bentuknya. Model penjurian yang selama ini dilakukan PPBI dianggap ketinggalan jaman. Maka muncul model penilaian alternatif. Meski ternyata, hal ini juga tidak lepas dari kontroversi juga.
Selama ini, model penjurian yang dilakukan oleh Juri PPBI adalah menggunakan metode kuantitatif. Bahwa setiap bonsai peserta pameran dinilai dalam bentuk angka-angka, sehingga akhirnya dapat direkap dan diketahui bonsai mana yang mendapatkan nilai tertinggi. Itu sebabnya dalam sebuah kontes, panitia akhirnya dapat menyebutkan Best Bonsai in Show, The Best Ten, The Best in Size atau The Best in Species.
Di sisi yang lain, ada model penjurian (sebut saja) kualitatif, yaitu memilih bonsai-bonsai yang terbaik menurut penilaian masing-masing juri, kemudian dilakukan cross check sehingga akhirnya ditemukan sejumlah bonsai terbaik. Pemberian angka dapat dilakukan setelah ditemukan nominasi bonsai terbaik tersebut.
Masing-masing model penilaian tersebut seolah-olah menjadi dua kutup dalam kontes bonsai. Model kuantitatif dilakukan PPBI, sedangkan model kualitatif dilakukan dalam pameran non-PPBI. Meskipun, PPBI sendiri pernah melakukan model penilaian kualitatif, yaitu ketika dilangsungkan pameran ASPAC di Bali tahun 2007. Hal ini karena semua jurinya berasal dari luar negeri.
Tanpa bermaksud mempertentangkan dua model penilaian tersebut, setidaknya model kedua (kualitatif) muncul karena ada ketidak-puasan terhadap penilaian kuantitatif yang dilakukan juri-juri PPBI. Suara-suara yang selama ini muncul, menganggap bahwa juri tidak mengikuti perkembangan dunia bonsai. Itu sebabnya bonsai yang menang kebanyakan gaya formal, atau bonsai yang “memohon” (menyerupai pohon mini). Sedangkan bonsai gaya “kontemporer” dipastikan tidak akan mendapat juara.
Kecenderungan seperti ini dianggap menghambat perkembangan bonsai. Ketika bonsai sudah memasuki wilayah seni, maka aspek estetik sangat penting diperhitungkan. Bonsai tidak bisa hanya semata-mata dinilai berdasarkan angka-angka kuantitatif belaka, melainkan harus juga memperhitungkan aspek estetikanya. Dengan kata lain, bahwa dalam seni bonsai terkandung juga ekspresi pembuatnya (baca: seniman bonsai).
Hanya saja, satu-satunya kontes bonsai yang masih ”diakui” selama ini adalah model penilaian kuantitatif gaya PPBI itu tadi. Apa boleh buat. Orang boleh saja protes, tidak puas, menolak dan sebagainya, namun selama mengikuti pameran PPBI maka harus tunduk pada aturan penjurian yang sudah dibakukan oleh satu-satunya perkumpulan penggemar bonsai di Indonesia itu. Dengan kata lain, kalau tidak setuju model penilaian seperti itu, ya gak usah ikut pameran. ‘
Dan memang begitulah yang terjadi selama ini. Sudah semakin banyak orang-orang yang menolak penjurian model PPBI, kemudian bersikap “dewasa” dengan cara tidak ikut pameran. Bahkan, ada juga yang terang-terangan menolak ikut pameran karena ada oknum juri yang dianggapnya tidak credible dalam melakukan penilaian. Ada pemain bonsai senior yang terang-terangan menolak ikut pameran kalau nama-nama tertentu tercantum menjadi anggota Tim Juri. Dan hal ini, sah-sah saja dilakukan. Ketimbang memaksakan diri ikut, tapi kemudian ngomel-ngomel terhadap hasil penilaian.
Tentu saja, kondisi ini menjadi bahan introspeksi bagi Juri PPBI sendiri. Mereka perlu melakukan evaluasi, baik terhadap sistem, maupun personal jurinya sendiri. Perbaikan harus terus menerus dilakukan, karena seni bonsai terus berkembang. Perkara laju upaya perbaikan itu masih belum sebanding dengan tahapan perkembangan seni bonsai, yang penting sudah ada upaya memperbaiki, dan tidak bersikukuh pada status quo.
Berbagai Pendapat
Kontroversi model penilaian bonsai yang ideal ini pernah dimunculkan ke permukaan oleh majalah Green Hobby (sudah tidak terbit lagi, red) sekitar dua tahun yang lalu. Pendapat Freddy, Sulistiyanto, Robert Steven dan Gunawan, di bawah ini, disarikan dari majalah tersebut.
Menurut Freddy Kustianto, mantan ketua Dewan Juri PPBI, juri bonsai harus menguasai ilmu botani. Tidak bisa hanya menilai bonsai semata-mata hanya dari segi penampilannya saja. Juri harus kuasai karakter masing-masing jenis pohon, tahu habitatnya, sehingga juga harus tahu tingkat kesulitannya. Sehingga, tidak bisa dilakukan penilaian dengan menyamaratakan semua jenis tanaman. Harus ada penilaian berdasarkan spesiesnya, dan juga ukurannya.
Sementara Sulistiyanto Soejoso, salah satu pendiri PPBI Sidoarjo, berpendapat sebaliknya. Juri bonsai tidak perlu memperhitungkan aspek botani, sebab pada prakteknya juri kita memang bukan ahli botani. Aspek kesehatan juga tidak perlu diperhitungkan, sebab bonsai yang tampil mustinya harus sehat. Bonsai adalah karya seni rupa, jadi harus dinilai berdasarkan penampilannya belaka. Tidak mungkin juri menguasai semua jenis pohon sebagaimana mengenalnya dengan baik di alam.
Sedangkan Gunawan Wibisono, ketua Dewan Juri PPBI, secara umum menyatakan, bahwa sistem penjurian bonsai yang dilakukan selama ini sebetulnya merupakan bagian dari proses pembelajaran bagi para penggemar bonsai. Itulah sebabnya ada rapor penilaian yang dibuat dalam setiap kontes. Memang banyak yang tidak sesuai dengan yang diinginkan sebagai penjurian yang ideal, namun tak bisa menyalahkan juri saja. Semua pemain bonsai harus introspeksi.
Umar Hs, sekretaris Dewan Juri yang ditemui oleh majalah Jelajah Bonsai baru-baru ini, mengungkapkan bahwa perbaikan demi perbaikan terus menerus dilakukan oleh Dewan Juri PPBI. Bahwa sepanjang sejarah PPBI baru dalam periode ini dilakukan pertemuan rutin setiap 6 (enam) bulan sekali antarjuri, yang selalu saja membahas upaya untuk memperbaiki sistem penilaian.
Bahwa bonsai adalah sebuah karya seni, sudah direspon oleh para juri dengan mengubah metode penilaian dengan mengutamakan aspek penampilannya lebih dulu, baru kemudian dinilai aspek-aspek yang lainnya. Para juri juga diharuskan keliling lokasi pameran lebih dulu untuk mendapatkan gambaran umum mengenai kualitas peserta, dan boleh melakukan penilaian darimana saja, jadi tidak langsung memberi angka pada bonsai yang pertama kali dilihatnya.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Klub Seni Bonsai Indonesia (Aksisain) di Surabaya akhir Februari lalu, Wahjudi D. Soetomo juga mengemukakan model penilaian tersendiri dalam pameran bonsai. Menurut pendiri Forum Komunikasi Bonsai Surabaya (FKBS) ini, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan terkait penjurian bonsai. Yaitu, wawasan tentang bonsai, kriteria penilaian, dan kriteria juri itu sendiri.
Bahwa juri harus menguasai betul apa yang disebut bonsai itu. Bahwa bonsai disamping sebagai obyek juga sebagai subyek. Bonsai yang baik harus memenuhi dua faktor, yaitu organik dan estetik. Terhadap dua aspek itulah dilakukan penilaian terhadap bonsai, berdasarkan obyektivitas dengan menggunakan ilmu pengetahuan serta wawasan tentang bonsai yang baik sebagai pijakan. Sedangkan sosok juri itu sendiri, haruslah orang yang punya wawasan luas tentang bonsai, bisa membuat bonsai, punya karya tulis tentang bonsai serta memiliki reputasi baik di bidang bonsai secara nasional maupun internasional.
Pandangan dari orang luar bonsai, datang dari Suwarno Wisetrotomo, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Menurut kurator yang berpengalaman dalam banyak pameran senirupa nasional itu, penjurian justru harus mengutamakan kondisi kehidupan bonsai itu sendiri. Boleh-boleh saja bonsai memiliki ungkapan estetik yang indah, namun kalau kemudian disiksa sedemikian rupa sehingga tinggal hanya dua daun misalnya, itu tidak dapat ditoleransi sama sekali.
Bahwa bonsai sudah memiliki rumahnya sendiri, yaitu Seni Bonsai. Karena itu diperlukan penjurian lintas disiplin untuk menilai bonsai, tidak cukup hanya dari sisi estetisnya saja, sehingga dapat mengembangkan parameter dengan adanya perpektif bandingan dari luar bonsai. Dalam kompetisi senirupa misalnya, kadang diperlukan seorang filsuf untuk memberikan penilaian menurut keahliannya. – hnr
==
Sumber: http://bonsaisidoarjo.wordpress.com/2010/05/06/penjurian-yang-ideal-bagaimana-seharusnya

0 komentar: