Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Types of Plants for Bonsai Material
Berikut ini adalah beberapa jenis pohon yang bisa dibonsai :
1. Amplas (Latin : Ficus Ampelas)
2. Anting Putri (Latin : Wrightia religiosa)
3. Asam jawa (Latin : Tamarindus indica)
4. Asam Londo (Latin : Pithecellobium dulce)
5. Azale (Latin : Rhododendron sp)
6. Beringin (Latin : Ficus benjamina)
7. Beringin karet (Latin : Ficus retusa)
8. Bodi (Latin : Ficus religiosa)
9. Bogenvil (Latin : Bougenvillea spectabilis)
10. Bunut (Latin : Ficus glauca)
11. Beringin Taiwan/Kimeng (Latin : Ficus microcarpa)
12. Beringin korea (Latin : Ficus longisland)
13. Beringin Soka (Latin : Ficus campacta)
14. Black Pine (latin : Pinus thunbergii)
15. Buxus (latin : Buxus Harlandii)
16. Buni (Latin : Antidesma bunius)
17. Cemara Buaya (Juniperus horisontalis)
18. Cemara duri (Latin : Juniperus chinensis)
19. Cemara papua (Latin : Cupresus papuanus)
20. Cemara udang (Latin : Casuarina equisetifolia)
21. Cemara Sinensis (Latin : Juniperus Chinensis)
22. Cendrawasih (Latin : Phylantus neruri)
23. Cen Ie (latin : buxus sinica)
24. Delima (Latin : Punica granatum)
25. Gulo Kematung
26. Gandarukam (Latin : Flacourtia rukam)
27. Hokiantea (Latin : Carmona mycrophylla)
28. Ileng-Ileng
29. Jambu biji (Latin : Psidium guajava)
30. Jeruk Kingkit (Latin : Triphasia trifolia)
31. Kawista kerikil (Latin : Feronia lucida)
32. Kemuning (Latin : Muraya paniculata)
33. Kupa Ladak (Latin : Sysigium cauliflora)
34. Karet Kebo (Latin : Ficus elliptica)
35. Ki Besi (Latin : Sageretia sp)
36. Ki Tameang (Latin : Celtis sinensis)
37. Ki Hideung (latin : Dyospyros evena)
38. Ki Putir (Latin : Podocarpus neriifolius)
39. Kuping tikus (latin : Euphorbia tirucalli)
40. Klampis (Latin : Acacia sp)
41. Kapasan (Latin : Cerodentrum merme)
42. Loa (latin : Ficus glomerata)
43. landepan (Latin : Plectronia horrida)
44. Lada-lada
45. Lohansung (Latin : Podocarpus macrophyllus)
46. Mirten (Latin : Malphigia coccigera)
47. Murbai (Latin : Morus Alba)
48. Mustam (Latin : Dyospyros montana)
49. Nasi Nasi (Latin : Sysigium buxifolia)
50. Ohna (Latin : Maba buxifolia)
51. Pung (Latin : Acacia farnensiana)
52. Pilang (Latin : Acacia leucophlea)
53. Penjalin (Latin : Eugenia lineata)
54. Pohon Perak (Latin : Eleagnus latifolia)
55. Pinus (Latin : Pinus Merkusii)
56. Pusaka (Latin : Timonius sp)
57. Pyracata Daun Bundar (latin : Pyracata angusifolia)
58. Pyracata Daun Panjang (Latin : Pyracata grenulata)
59. Rukam (Latin : Flacourtia indica)
60. Santigi (latin : Phempis acidula)
61. Serut (latin : Streblus asper)
62. Sianto (Latin : Eugenia uniflora)
63. Sisir (latin : Cudrania cochinchinensis)
64. Soka (Latin : Ixora coccinea)
65. Sakura (Latin : langestromia indica)
66. Serpang
67. Sianci (Latin : Malphigia sp)
68. Sapu sapu (Latin : Tamarix sp)
69. Seribu bintang (Latin : Serisa foetida)
70. Saeng Simbur (Latin : Desmodium sp)
71. Sterblus (Latin : Taxotrophis taxoides)
72. Segretia (Latin : Segretia theezans)
73. Serut pagar (Latin : Carmona retusa)
74. Trenggulum (Latin : Protium javanicum)
75. Taxodium (Latin : Taxodium distichum)
76. Tehtehan / Penitian (latin : Durante repens)
77. Ulmus (Latin : Ulmus Lancaefolia)
78. Ulmus cina (latin : Ulmus parfiflora)
79. Wahong (Latin : Premna mycrophylla)
80. Wahong Laut (Latin : Premna nauseose)
81. Waru (Latin : Hibiscus tiliaceus)
82. Wareng (latin : Gmellina Elliptica)
83. Walikukun (Latin : Actinophora fragrans)
Sumber: http://bonsaimaluk.multiply.com/reviews
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
bakalan santigi lanang
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
wajah bonsai jadi santigi lanang
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Santigi, di manakah engkau berada?
Bentang pantai bakauheni yang memagari wilayah Lampung Selatan memang memberi warna wisata yang sangat memukau. Segala pemandangan alam akan ditemukan di sana, termasuk jenis flora & fauna. Bentangan pantai tersebut dapat dinikmati di Pantai Tanjung Bani, Desa Pinang Gading, Kecamatan Bakauheni, Lampung Selatan. Salah kekayaan alam yang dimiliki di satu lokasi yang ada di sana yaitu: Hutan Santigi. Di lokasi itu ditemui vegetasi pantai seperti bakau atau mangrove (rhizophora), santigi (pemphis acidula), santigi lanang (lumnitzera racemosa), serut (streblus asper), bunut (L ficus), wahong laut (premna nauseose), waru (hibiscus tiliaceus).
Di intisarikan dari sumber asli di:
http://ulunlampung.blogspot.com/2009/05/perjalanan-berwisata-seru-dan-gratis-di.html
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Penjurian yang ideal, Bagaimana seharusnya ?
Dalam setiap pameran (kontes) bonsai selalu terjadi kontroversi soal hasil penilaian para juri. Ketidak-puasan selalu saja muncul dalam berbagai bentuknya. Model penjurian yang selama ini dilakukan PPBI dianggap ketinggalan jaman. Maka muncul model penilaian alternatif. Meski ternyata, hal ini juga tidak lepas dari kontroversi juga.
Selama ini, model penjurian yang dilakukan oleh Juri PPBI adalah menggunakan metode kuantitatif. Bahwa setiap bonsai peserta pameran dinilai dalam bentuk angka-angka, sehingga akhirnya dapat direkap dan diketahui bonsai mana yang mendapatkan nilai tertinggi. Itu sebabnya dalam sebuah kontes, panitia akhirnya dapat menyebutkan Best Bonsai in Show, The Best Ten, The Best in Size atau The Best in Species.
Di sisi yang lain, ada model penjurian (sebut saja) kualitatif, yaitu memilih bonsai-bonsai yang terbaik menurut penilaian masing-masing juri, kemudian dilakukan cross check sehingga akhirnya ditemukan sejumlah bonsai terbaik. Pemberian angka dapat dilakukan setelah ditemukan nominasi bonsai terbaik tersebut.
Masing-masing model penilaian tersebut seolah-olah menjadi dua kutup dalam kontes bonsai. Model kuantitatif dilakukan PPBI, sedangkan model kualitatif dilakukan dalam pameran non-PPBI. Meskipun, PPBI sendiri pernah melakukan model penilaian kualitatif, yaitu ketika dilangsungkan pameran ASPAC di Bali tahun 2007. Hal ini karena semua jurinya berasal dari luar negeri.
Tanpa bermaksud mempertentangkan dua model penilaian tersebut, setidaknya model kedua (kualitatif) muncul karena ada ketidak-puasan terhadap penilaian kuantitatif yang dilakukan juri-juri PPBI. Suara-suara yang selama ini muncul, menganggap bahwa juri tidak mengikuti perkembangan dunia bonsai. Itu sebabnya bonsai yang menang kebanyakan gaya formal, atau bonsai yang “memohon” (menyerupai pohon mini). Sedangkan bonsai gaya “kontemporer” dipastikan tidak akan mendapat juara.
Kecenderungan seperti ini dianggap menghambat perkembangan bonsai. Ketika bonsai sudah memasuki wilayah seni, maka aspek estetik sangat penting diperhitungkan. Bonsai tidak bisa hanya semata-mata dinilai berdasarkan angka-angka kuantitatif belaka, melainkan harus juga memperhitungkan aspek estetikanya. Dengan kata lain, bahwa dalam seni bonsai terkandung juga ekspresi pembuatnya (baca: seniman bonsai).
Hanya saja, satu-satunya kontes bonsai yang masih ”diakui” selama ini adalah model penilaian kuantitatif gaya PPBI itu tadi. Apa boleh buat. Orang boleh saja protes, tidak puas, menolak dan sebagainya, namun selama mengikuti pameran PPBI maka harus tunduk pada aturan penjurian yang sudah dibakukan oleh satu-satunya perkumpulan penggemar bonsai di Indonesia itu. Dengan kata lain, kalau tidak setuju model penilaian seperti itu, ya gak usah ikut pameran. ‘
Dan memang begitulah yang terjadi selama ini. Sudah semakin banyak orang-orang yang menolak penjurian model PPBI, kemudian bersikap “dewasa” dengan cara tidak ikut pameran. Bahkan, ada juga yang terang-terangan menolak ikut pameran karena ada oknum juri yang dianggapnya tidak credible dalam melakukan penilaian. Ada pemain bonsai senior yang terang-terangan menolak ikut pameran kalau nama-nama tertentu tercantum menjadi anggota Tim Juri. Dan hal ini, sah-sah saja dilakukan. Ketimbang memaksakan diri ikut, tapi kemudian ngomel-ngomel terhadap hasil penilaian.
Tentu saja, kondisi ini menjadi bahan introspeksi bagi Juri PPBI sendiri. Mereka perlu melakukan evaluasi, baik terhadap sistem, maupun personal jurinya sendiri. Perbaikan harus terus menerus dilakukan, karena seni bonsai terus berkembang. Perkara laju upaya perbaikan itu masih belum sebanding dengan tahapan perkembangan seni bonsai, yang penting sudah ada upaya memperbaiki, dan tidak bersikukuh pada status quo.
Berbagai Pendapat
Kontroversi model penilaian bonsai yang ideal ini pernah dimunculkan ke permukaan oleh majalah Green Hobby (sudah tidak terbit lagi, red) sekitar dua tahun yang lalu. Pendapat Freddy, Sulistiyanto, Robert Steven dan Gunawan, di bawah ini, disarikan dari majalah tersebut.
Menurut Freddy Kustianto, mantan ketua Dewan Juri PPBI, juri bonsai harus menguasai ilmu botani. Tidak bisa hanya menilai bonsai semata-mata hanya dari segi penampilannya saja. Juri harus kuasai karakter masing-masing jenis pohon, tahu habitatnya, sehingga juga harus tahu tingkat kesulitannya. Sehingga, tidak bisa dilakukan penilaian dengan menyamaratakan semua jenis tanaman. Harus ada penilaian berdasarkan spesiesnya, dan juga ukurannya.
Sementara Sulistiyanto Soejoso, salah satu pendiri PPBI Sidoarjo, berpendapat sebaliknya. Juri bonsai tidak perlu memperhitungkan aspek botani, sebab pada prakteknya juri kita memang bukan ahli botani. Aspek kesehatan juga tidak perlu diperhitungkan, sebab bonsai yang tampil mustinya harus sehat. Bonsai adalah karya seni rupa, jadi harus dinilai berdasarkan penampilannya belaka. Tidak mungkin juri menguasai semua jenis pohon sebagaimana mengenalnya dengan baik di alam.
Sedangkan Gunawan Wibisono, ketua Dewan Juri PPBI, secara umum menyatakan, bahwa sistem penjurian bonsai yang dilakukan selama ini sebetulnya merupakan bagian dari proses pembelajaran bagi para penggemar bonsai. Itulah sebabnya ada rapor penilaian yang dibuat dalam setiap kontes. Memang banyak yang tidak sesuai dengan yang diinginkan sebagai penjurian yang ideal, namun tak bisa menyalahkan juri saja. Semua pemain bonsai harus introspeksi.
Umar Hs, sekretaris Dewan Juri yang ditemui oleh majalah Jelajah Bonsai baru-baru ini, mengungkapkan bahwa perbaikan demi perbaikan terus menerus dilakukan oleh Dewan Juri PPBI. Bahwa sepanjang sejarah PPBI baru dalam periode ini dilakukan pertemuan rutin setiap 6 (enam) bulan sekali antarjuri, yang selalu saja membahas upaya untuk memperbaiki sistem penilaian.
Bahwa bonsai adalah sebuah karya seni, sudah direspon oleh para juri dengan mengubah metode penilaian dengan mengutamakan aspek penampilannya lebih dulu, baru kemudian dinilai aspek-aspek yang lainnya. Para juri juga diharuskan keliling lokasi pameran lebih dulu untuk mendapatkan gambaran umum mengenai kualitas peserta, dan boleh melakukan penilaian darimana saja, jadi tidak langsung memberi angka pada bonsai yang pertama kali dilihatnya.
Dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Klub Seni Bonsai Indonesia (Aksisain) di Surabaya akhir Februari lalu, Wahjudi D. Soetomo juga mengemukakan model penilaian tersendiri dalam pameran bonsai. Menurut pendiri Forum Komunikasi Bonsai Surabaya (FKBS) ini, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan terkait penjurian bonsai. Yaitu, wawasan tentang bonsai, kriteria penilaian, dan kriteria juri itu sendiri.
Bahwa juri harus menguasai betul apa yang disebut bonsai itu. Bahwa bonsai disamping sebagai obyek juga sebagai subyek. Bonsai yang baik harus memenuhi dua faktor, yaitu organik dan estetik. Terhadap dua aspek itulah dilakukan penilaian terhadap bonsai, berdasarkan obyektivitas dengan menggunakan ilmu pengetahuan serta wawasan tentang bonsai yang baik sebagai pijakan. Sedangkan sosok juri itu sendiri, haruslah orang yang punya wawasan luas tentang bonsai, bisa membuat bonsai, punya karya tulis tentang bonsai serta memiliki reputasi baik di bidang bonsai secara nasional maupun internasional.
Pandangan dari orang luar bonsai, datang dari Suwarno Wisetrotomo, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Menurut kurator yang berpengalaman dalam banyak pameran senirupa nasional itu, penjurian justru harus mengutamakan kondisi kehidupan bonsai itu sendiri. Boleh-boleh saja bonsai memiliki ungkapan estetik yang indah, namun kalau kemudian disiksa sedemikian rupa sehingga tinggal hanya dua daun misalnya, itu tidak dapat ditoleransi sama sekali.
Bahwa bonsai sudah memiliki rumahnya sendiri, yaitu Seni Bonsai. Karena itu diperlukan penjurian lintas disiplin untuk menilai bonsai, tidak cukup hanya dari sisi estetisnya saja, sehingga dapat mengembangkan parameter dengan adanya perpektif bandingan dari luar bonsai. Dalam kompetisi senirupa misalnya, kadang diperlukan seorang filsuf untuk memberikan penilaian menurut keahliannya. – hnr
==
Sumber: http://bonsaisidoarjo.wordpress.com/2010/05/06/penjurian-yang-ideal-bagaimana-seharusnya
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Catatan Diskusi Seni Bonsai di Sidoarjo
Bonsai yang indah atau bagus itu yang bagaimana? Pertanyaan sederhana ini cukup panjang jawabannya. Namun secara garis besar dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun bentuk bonsai, harus mengikuti hukum alam. Itulah sebetulnya yang dimaksudkan bahwa pecinta bonsai itu harus paham ilmu botani.
Hal itu dikatakan Robert Steven, seniman bonsai internasional yang sengaja hadir di Sidoarjo beberapa waktu yang lalu (15/12) dalam acara Forum Diskusi Seni Bonsai Indonesia (FDSBI) bekerjasama dengan Persatuan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) Cabang Sidoarjo. Diskusi yang berlangsung di kebun Sulistyosidhi di Gedangan, itu dihadiri oleh hampir 200 penggemar bonsai dari Surabaya, Malang, Probolinggo, Lumajang, Bangkalan, Pamekasan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, bahkan meluas hingga Blora dan Wonogiri.
Mengapa bonsai yang bagus harus tetap mengacu pada hukum alam? Dijawab sendiri oleh Robert, bahwsanya semua gaya pohon di alam pasti punya alasan tersendiri mengapa sampai memiliki bentuk tertentu. Ironisnya, bagi penggemar bonsai justri banyak yang memberikan alasan terhadap gaya tertentu dan dari bonsainya, dan bukan menjelaskan estetikanya.
Pada dasarnya, bentuk atau gaya pohon di alam tergantung dari:
Pertama, spesiesnya sendiri. Pohon kapuk misalnya, punya gaya sendiri yang beda dengan beringin, akasia atau asem misalnya. Itu sebabnya morfologi setiap jenis pohon harus dikuasai oleh penggemar bonsai.
Kedua, kondisi dimana pohon itu tumbuh. Hukum alam mengatakan, bahwa akar cenderung menjulur mencari air, daun mencari sinar matahari, sehingga dapat mempengaruhi bentuk pohon. Habitat pohon yang tumbuh di batu, tebing, sungai, pantai dan sebagainya, secara alami akan menentukan gayanya sendiri, meskipun dari jenis pohonnya sama.
Ketiga, atmosferi effect, yaitu pengaruh iklim, gangguan alam dan sebagainya. Misalnya angin bertiup terus menerus seperti di Capetown, Afrika, misalnya, maka nyaris semua bentuk pohonnya cenderung bergaya windswept. Atau kalau pohon di alam itu sering ditebang manusia, disambar petir atau mendapatkan gangguan alam yang lain. Seperti misalnya pinus di Quanshan, dataran tinggi bersalju, memiliki bentuk yang berbeda dengan jenis pinus yang sama namum tumbuh di dataran yang berbeda.
Jadi, bonsai dapat disebut indah manakala mengandung tiga syarat:
Syarat pertama, indah secara estetika. Ini memang relatif, banyak teori yang menerangkan tentang keindahan. Meskipun, sebagai karya seni ada yang berpendapat tidak harus indah. Yang penting maknanya. Hanya saja, untuk bonsai tetap harus ada syarat indah. Ini syarat minimal. Apa yang disebut dalam literatur bisa saja memang benar namun belum tentu betul.
Syarat kedua, bonsai itu bisa bercerita sendiri dimana habitat tumbuhnya. Bahwa pohon yang tumbuh di tebing, tentu berbeda dengan yang tumbuh di pantai. Hanya dengan melihat bentuk atau gaya bonsai, kita sudah bisa memperkirakan kira-kira habitat seperti apa yang menjadi tempat tumbuh pohon yang dibonsaikan itu.
Syarat ketiga, karena bonsai adalah karya seni, maka arus ada pesan atau makna yang ingin disampaikan oleh senimannya. Kita tentunya ingin mengatakan sesuatu kepada peniikmat, kira-kira makna atau pesan apa yang hendak dikatakan dengan membuat bentuk atau gaya bonsai tersebut.
Syarat pertama, mengenai keindahan, merupakan syarat minimal yang harus dipenuhi untuk dapat disebut sebagai bonsai yang indah. Tanpa memenuhi dua syarat yang lainnya, itu saja sudah cukup. Tapi kalau ketiga syarat itu dapat dipenuhi, tentu akan lebih bagus. Bonsai dapat diisebut indah kalau ketiga syarat itu bisa terintegrasi sehingga secara keseluruhan bonsai bisa bicara.
Pada dasarnya, pohon dapat tumbuh baik di alam manakala tersedia air, sinar matahari dan ruang. Karena itu tak ada cabang bersilang-silangan karena pertumbuhan cabang selalu mencari arah sinar matahari.
Sudah merupakan hukum alam, manakala terjadi terpaan angin atau pasir secara luar biasa, maka terjadi pengeringan pada sebagian pohon. Kering pada pohon adalah sebuah kerusakan, namun bisa menjadi indah kalau mampu ditampilkan secara tepat. Ini memang ada instrumennya sendiri. Bonsai gaya Kimura yang banyak menampilkan keringan misalnya, itu merupakan cerminan Unipers yang tumbuh di alam. Itu sebabnya bonsai Unipers Taiwan, cenderung memiliki batang atau cabang yang berpelintir, sebagaimana di alam aslinya di sana.
Kelapa itu Bonsai?
Dalam sesi tanya jawab, dialog berlangsung hangat. Misalnya ada pertanyaan, adakah syarat tertentu dari jenis pohon agar dapat disebut bonsai. Pohon kelapa misalnya, apa bisa dibuat bonsai. Demikian pula adenium, juga dapat dikreasi sedemikian rupa sehingga memiliki syarat bonsai, apa bisa disebut bonsai?
Menurut Robert, tidak semua tanaman (dari jenis apapun) dalam pot dapat disebut bonsai. Kalau tanaman belum dibentuk, meski ada di pot, maka belum bisa disebut bonsai. Karena yang disebut bonsai itu bukan menjiplak bentuk pohon di alam apa adanya, tetapi ada campurtangan manusia untuk menjadikan indah.
Kelapa, tak dapat disebut bonsai, karena ada peraturan tak tertulis, bahwa bonsai harus berbatang keras, memiliki struktur cabang dan ranting, serta mampu menampilkan kesan tua. Sedangkan adenium, itu jenis sukulen, bukan termasuk bonsai. Meski secara proporsional dapat juga memiliki bentuk seperti bonsai.
Kalau ada bonsai keringan kemudian diukir menyerupai bentuk naga misalnya, apakah hal itu masih dibolehkan? “Itu bukan bonsai, tapi handycraft biasa,” jelas Robert. Karena bonsai tidak boleh menunjukkan bekas-bekas campurtangan manusia yang tidak ada di alam.
Sulistyanto Soejoso berpendapat, pesan saja tidak cukup, tapi kesan. Bonsai keringan, mustahil daunnya rimbun. Karena itu bonsai Indonesia akan digemari orang-orang gurun pasir, yang menyukai kerimbunan. Secara naluriah, mereka menyukai hal-hal yang menyejukkan. Misalnya, seragam sepakbola negara-negara Timur Tengah cenderung mengandung warna hijau.
Karena itu, kata Sulis, dengan menentukan gaya bonsai, bisa jadi akan menjadi potensi untuk menciptakan gaya bonsai khas Indonesia. Misalnya, tradisi karapan sapi, bisa ditiru menjadi gaya bonsai yang kemudian diberi judul Karapan Sapi.
Berkaitan dengan keindahan, Wahjudi D. Soetomo menyampaikan pendapatnya. Bahwa keindahan itu ada dua hal. Yaitu keindahan subyektif dan keindahan obyektif. Disebut subyektif karena memang tidak bisa dikomunikasikan dengan banyak orang. Tidak bisa didiskusikan. Sedangkan keindahan obyektif itu pijakannya jelas, yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat universal. Keindahan obyektif dapat dipelajari setiap orang dan dapat dikomunikasikan. Bukankah sejak kita di bangku sekolah sudah dikenalkan apa itu keindahan?
Robert tak menolak pandangan tersebut. Hanya saja, dia hanya mencoba menyampaikan analogi yang gampang dicerna untuk memahami bagaimana seni bonsai. Diperlukan semacam tips dasar yang logis sehingga mudah dipahami. Misalnya saja, bagaimana mendesain bahan untuk dapat dibuat menjadi bonsai? Sebut saja Wahong, memiliki bentuk yang dramatis, sehingga seringkali kita bingung sendiri mau dijadikan apa.
Wahong laut memang termasuk jenis pohon yang sulit didesain. Untuk itu, kata Robert, ketika kita mendapatkan bahan dari alam, perlu diasumsikan bahwa dulunya seperti pohon besar yang sempurna. Kemudian karena banyak hal, misalnya ditebang, dipotong, mengalami gangguan alam dan sebagainya, sehingga menjadi bentuk sebagaimana yang diambil sebagai bakalan. Artinya, ada proses transformasi untuk menjadikan sebuah bonsai.
Bagian Depannya Mana?
Salah satu kelemahan yang sering terjadi, banyak yang salah paham dengan yang dimaksud ”depan” dari bonsai. Kita selalu menganggap ”depan” menurut pengertian kita. Akibatnya, kita kurang memperhatikan sudut pandang tertentu yang diinginkan.
Misalnya, yang disebut gaya itu apa? Gaya adalah pose atau gerakan sebuah pohon. Sesungguhnya membuat gaya bonsai itu tidak sulit. Waktu membuat suatu gaya harus memperhitungkan secara keseluruhan membentuk suatu nuansa apa tidak? Membuat gerakan pohon ibarat membuat pose tubuh kita sendiri. Ada suatu titik gaya berat sehingga secara keseluruhan gampang dilihat. Asal balance, itu saja sudah bagus.
Bahwa yang dimaksud ”depan” dalam bonsai itu bukan ”depan” sebagaimana pengertian kita. Tetapi suatu sudut pandang tertentu yang kita tentukan sehingga bonsai itu mampu menyampaikan sesuatu.
Misalnya foto-foto majalah Playboy, tidak pernah ada foto yang tampil frontal menunjukkan bagian depan tubuhnya. Pasti ada sesuatu gaya yang dibuat sedemikian rupa sehingga tercipta bagian ”depan” ketika kita memandangnya sebagai pose yang indah. Tidak harus terekspose semua bagian secara anatomi. Jadi, carilah bagian bonsai yang mana dari bonsai yang kita punya sehingga menjadi nampak indah.
Soal kelapa dan adenium, Sulis punya pendapat sendiri, bahwa itu bisa bisa saja disebut. Bonsai. Hanya saja dalam kontes tak bisa dikelompokkan dalam kelas tertentu. ”Janganlah bonsai itu dibuat terlalu eksklusif, nanti orang takut. Tapi juga jangan terlalu rendah. Itu soal kesepakatan,” tegasnya
Dalam pemahaman sederhana, kata Sulis, yang disebut bonsai itu adalah miniatur pohon di alam, kemudian ditambahi pot sehingga menjadi bonsai. Dalam pengertian awam, pot sering hanya dipahami secara konvensional. Padahal dalam alam ada beringin bisa hidup nempel di tembok. Maka dalam hal ini dinding itu adalah pot. Bonsai sebagai karya seni memungkinkan imajinasi tak terbatas.
Pengertian pot jangan distandarkan. Ada pohon yang dapat hidup dengan media sangat minim dengan pot seadanya. Bahkan tanpa media tanah. Perkara menang atau tidak dalam kontes, itu soal lain. Yang penting keberania eksperimen dan mengembangkan imajinasi.
”Ya, betul Pak Sulis, karena itu saya tidak pernah pakai istilah pot, tapi wadah,” tutup Robert. –henri nurcahyo
Sumber: http://bonsaisidoarjo.wordpress.com/2007/12/17/bonsai-tetap-ikuti-hukum-alam/
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Ada Pameran Bonsai di Museum Tsunami
Darri ratusan bonsai beragam bentuk yang unik dan menarik yang mulai
dipamerkan pada 31 Januari hingga 13 Februari mendatang itu, ada satu
tanaman dari pohon wahong atau sancang, dibandrol dengan harga Rp 100
juta oleh Awenk, sang pemiliknya seorang pria berusia 34 tahun warga
Luengbata, Banda Aceh. Menurut Awenk, bonsai pohon wahong yang sudah
dirawatnya selama 8 tahun itu, masuk dalam kategori bonsai jumbo karena
tingginya mencapai 120 centimeter. Orang Aceh lebih mengenal pohon
wahong ini dengan sebutan kang asee. “Pohon ini saya temukan di kawasan
Ujong Batee, Aceh Besar, delapan tahun lalu. Bentuknya kokoh dan
terlihat sudah sangat tua sekali. Jika sudah jadi bonsai unik seperti
ini, biasanya para kolektor atau penggemar bonsai yang sudah tahu nilai
seninya, tidak akan mempermasalahkan harga,” kata Awenk, Sabtu (6/2).
Awenk (34 ) berpose disamping Bonsai miliknya
yang dijual seharga Rp 100 juta. SERAMBI/AZMI
Untuk
menemukan tanaman unik yang cocok untuk dibonsai, Awenk bersama
teman-teman penggemar bonsai, kerap menjelajahi bukit dan menyusuri
pinggiran pantai di seluruh Aceh. “Terkadang kami menemukan pohon atau
tanaman yang memang sudah terbentuk, dan kami hanya tinggal
memindahkannya saja. Tapi lebih banyak tanaman yang kami bentuk
menggunakan kawat, sesuai dengan konsep ingin dibentuk seperti apa,”
jelas alumnus Fakultas Teknik Muhammadiyah, Banda Aceh ini. Selain
pohon wahong yang bernilai Rp 100 juta milik Awenk, pameran gratis ini
juga menampilkan koleksi dari pebonsai lain di Banda Aceh dan Aceh
Besar. Sekitar 15 jenis tanaman keras lokal berdaun kecil seperti
Minkro, beringin, kemuning, bak hagu, Asam Jawa, cemara, serut, dan
ranteng kayee kunyet, tertata rapi di dalam pot-pot tinggi agar mudah
dinikmati keindahannya oleh pengunjung.
“Bonsai yang
dipamerkan di sini berasal dari 80 kolektor di Banda Aceh dan Aceh
Besar. Harga yang ditawarkan bervariasi mulai dari Rp 50 ribu sampai Rp
50 juta, dan ada satu bonsai bernilai Rp 100 juta,” kata Muchtar Ketua
Persatuan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) Aceh.
Cukup tinggi
Menurut
dia, animo warga kota terhadap pameran bonsai cukup tinggi. Ini
terlihat dari banyaknya pengunjung yang berasal dari segala usia, dan
tertarik membeli bakalan bonsai atau bonsai yang baru dibentuk. “Banyak
warga yang tertarik dengan tanaman atau pohon yang dikerdilkan di dalam
pot dangkal ini. Karena antusiasme pengunjung, pameran ini kami buka
hingga malam hari. Rata-rata mereka banyak bertanya tentang teknik
membentuk dan merawat bonsai. Sebagian besar pengunjung membeli bonsai
bakalan atau yang belum sempurna,” imbuh dia. Muchtar menginformasikan
dalam pameran bonsai ini, pengurus PPBI juga membuka bengkel bonsai.
“Bagi pengunjung yang memiliki bonsai di rumah ingin di perbaiki atau
dibentuk, boleh bawa kemari. Kami juga dengan senang hati melayani
pengunjung yang ingin berkonsultasi tentang bonsai,” kata dia.
Ia
mengatakan tujuan utama pameran bonsai ini adalah untuk memperkenalkan
dan memperlihatkan kepada pengunjung tentang keindahan seni bonsai.
“Selain itu menjadi wadah bagi para kolektor dan pebonsai untuk
menampilkan karya seni. Ini adalah pameran bonsai ke empat kalinya di
Banda Aceh. Beberapa bonsai sudah pernah ikut kontes tingkat nasional
dan internasional. PPBI Aceh berencana untuk mejadi tuan rumah kontes
bonsai nasional 2010, dan Museum Tsunami Aceh sangat cocok untuk
menggelar event nasional itu,” kata Muchtar. Sementara itu, Agus,
seorang penggemar bonsai yang ikut ambil bagian dalam pameran ini
menyebutkan Aceh sangat kaya akan ragam tanaman keras yang cocok
dijadikan bonsai. “Di Aceh ada pohon minkro yang sangat cocok dijadikan
bonsai, setahu saya pohon minkro hanya ditemukan di Aceh tidak di
daerah lain. Ini menjadi kelebihan pebonsai di Aceh,” bangganya.
Ia
menjelaskan istilah bonsai berasal dari Jepang yang berarti memelihara
tanaman atau pohon dalam pot dangkal, sehingga tampil seperti sudah
sangat tua dan segar layaknya di alam bebas. “Gaya bonsai ada
bermacam-macam di antaranya natural, ekspresionis, dan suryalis. Yang
dipamerkan di sini sebagian besar mengambil gaya ekspresionis. Contoh
yang suryalis misalnya gaya mencengkram batu, akar terjalin, hidup di
atas batu, dan gaya rakit,” sebut Agus. (azminurti thursina).
source : http://www.serambinews.com/news/view/23577/ada-pameran-bonsai-di-museum-...
Sumber suntingan: http://www.ferrysuiseki.com/Ada+Pameran+Bonsai+di+Museum+Tsunami+
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Oleh Wawang Sawala
Mengikuti kontes bonsai, bukan asal tampil begitu saja. Ada banyak hal yang harus dipersiapkan, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Namun kenyataannya, masih banyak dijumpai di arena kontes, bonsai yang tampil apa adanya. Lantas, bagaimana sebaiknya mempersiapkan bonsai untuk kontes?
Kalau boleh membandingkan dengan kontes Ratu Kecantikan, mereka mempersiapkan diri selama berbulan-bulan sebelumnya. Baik persiapan fisik, mental, intelektual dan kepribadian. Atau, bandingan yang lebih dekat, bayangkan kalau kita mau ke pesta. Pasti segala sesuatunya dipersiapkan secara matang sebelumnya. Apalagi persiapan untuk calon pengantin yang ditonton banyak orang di sebuah resepsi. Banyak pantangan dan aturan yang harus ditaati agar penampilannya betul-betul prima.
Meski tidak serumit calon pengantin, ada baiknya peserta kontes bonsai mempersiapkan bonsainya sedemikian rupa agar penampilan nya betul-betul prima. Lepas dari soal menang atau tidak, kalau bonsai kita tampil prima maka akan mengundang pesona tersendiri dari pengunjung. Penampilan prima itu bukan hanya dari sisi tanamannya sendiri, melainkan juga pot atau wadahnya. Masih saja ada yang melupakan, bahwa bonsai itu merupakan satu kesatuan antara pohon (sai) dan wadahnya (bon).
• Pertama-tama kita harus mengenal sifat dari tanaman yang akan ditampilkan. Hal ini penting untuk mempersiapkan bagaimana menjadikan tanaman itu bisa tampil prima, mulai dadri perdaunan, perantingan dan sebagainya.
• Jauh sebelum kontes, perlu dipikirkan, kapan waktu yang tepat untuk melakukan pruning atau digundul. Hal ini perlu diperhitungkan saat ikut kontes nanti didapatkan daun yang kelihatan muda dan sehat, tampilan yang prima pada ranting dan anak ranting, bahkan juga silhouette tanaman secara keseluruhan.
• Terkait pruning, kapan sebaiknya dilakukan shaping atau pembuangan ranting-ranting yang tidak perlu, supaya kelihatan rapi, tidak semrawut dan memberikan kesan yang mendalam.
• Bersihkan dengan sikat pada batang dan cabang dari jamur-jamur dan kotoran, buang bagian yang keropos, agar tanaman tampak lebih sehat dan tidak terkesan jorok atau tak terpelihara.
• Bukalah kawat-kawat yang sudah tidak diperlukan. Kalau masih memerlukan lilitan kawat, pakailah kawat yang warnanya tidak mencolok. Misalnya, pakai kawat tembaga atau kawat aluminium yang dicat rapi.
• Jika menggunakan keringan, sikatlah keringan tersebut supaya bersih dari kotoran dan jamur, pakailah fungisida, dan hindarkan warna yang tidak alami.
• Pakailah pot yang cocok bentuk, warna dan ketebalannya dengan sosok tanaman. Bonsai yang berkarakter kuat, kokoh, maskulin, sebaiknya menggunakan pot persegi empat atau enam. Sebaliknya, kalau tanaman berkesan ayu, luwes, feminin, sebaiknya menggunakan pot berbentuk oval atau bulat.
• Hindarkan pot yang memiliki warna terang dan motif yang mencolok. Pilihlah warna alami, warna terakota, biru gelap, hijau tua, warna batu hijau lumut, dan semacamnya. Kalau memakai pot keramik, perhitungkan pula glazuur atau aspek mengkilapnya agar tidak mengalahkan pohonnya.
• Bersihkan pot dari kotoran, lumut, bekas endapan air siraman, tempelan bekas stiker pada kontes sebelumnya. Saputlah dengan semir warna netral. Dalam hal ini perlu diingatkan berulangkali, bahwa panitia tidak diperkenankan menempelkan stiker apapun di pot, sebab sesungguhnya tampilan pot termasuk bagian yang dinilai.
• Jika menggunakan media tanah, bersihkan dari gulma atau rumputan. Aturlah kontur tanah sedemikian rupa agar memberikan kesan alami dan sudah lama berada di pot (bukan baru ditimbun). Hindarkan penggunaan pasir Bromo atau pasir Malang yang merata menutup semua permukaan. Hal ini mengesankan bahwa tanaman tersebut labil. Padukan media pasir itu dengan tanah, lumut atau bebatuan sesuai dengan kesan pohon yang hendak ditampilkan. Misalkan pohon tersebut diimajinasikan hidup di daerah tandus, tentunya jangan ada lumut atau rumputan, tapi pakailah media bebatuan atau sedikit pasir, sesuai dengan alam aslinya.
Selamat mencoba.
Referensi: diambil dari Majalah GREEN Hobby, nomor 11-2008)
Postingan ini diambil sunting dari sumber :http://bonsaisidoarjo.wordpress.com/2008/09/06/persiapan-mengikuti-kontes/
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
SEJARAH JERUK KINGKIT (Kimkit)
Jeruk kingkit menjadi salah satu primadona bonsai di Indonesia.
Tanaman dari Tiongkok ini masih tetap bisa berbuah meskipun sudah
dibonsai. Di Indonesia, jeruk kingkit pertama kali ditanam di daerah
Belinyu, Bangka.
Dalam sejarahnya, jeruk kingkit pertama kali dibawa oleh Raja
Bong Khiung Fu. Raja yang memerintah di wilayah dekat Tibet ini
melarikan diri karena berselisih paham dengan Kaisar Khian Lung yang
memerintah China saat itu.
Dalam pelariannya, Raja Bong dan pengikutnya membawa buah jeruk
kingkit dalam jumlah banyak. Jeruk kingkit ini berguna untuk
mengobati orang yang mabuk laut. Raja Bong melarikan diri hingga ke
Pelabuhan Karang Lintang di daerah Belinyu, Bangka, pada tahun 1675.
Biji jeruk kingkit ini kemudian ditanam di Belinyu sehingga
daerah itu pernah menjadi ladang jeruk kingkit. Salah satu tanaman
jeruk kingkit itu mampu bertahan hingga lima generasi. Karena banyak
yang menggemari, jeruk kingkit ini sudah dibudidayakan untuk bahan
Read more
Written by Yoga Yuwana
Posted in:
Apa itu Bonsai ?
Bonsai (盆栽 ?) adalah tanaman atau pohon yang dikerdilkan di dalam pot dangkal dengan tujuan membuat miniatur dari bentuk asli pohon besar yang sudah tua di alam bebas. Penanaman (sai, 栽) dilakukan di pot dangkal yang disebut bon (盆). Istilah bonsai juga dipakai untuk seni tradisional Jepang dalam pemeliharaan tanaman atau pohon dalam pot dangkal, dan apresiasi keindahan bentuk dahan, daun, batang, dan akar pohon, serta pot dangkal yang menjadi wadah, atau keseluruhan bentuk tanaman atau pohon. Bonsai adalah pelafalan bahasa Jepang untuk penzai (盆栽).
Seni ini mencakup berbagai teknik pemotongan dan pemangkasan tanaman, pengawatan (pembentukan cabang dan dahan pohon dengan melilitkan kawat atau membengkokkannya dengan ikatan kawat), serta membuat akar menyebar di atas batu. Pembuatan bonsai memakan waktu yang lama dan melibatkan berbagai macam pekerjaan, antara lain pemberian pupuk, pemangkasan, pembentukan tanaman, penyiraman, dan penggantian pot dan tanah. Tanaman atau pohon dikerdilkan dengan cara memotong akar dan rantingnya. Pohon dibentuk dengan bantuan kawat pada ranting dan tunasnya. Kawat harus sudah diambil sebelum sempat menggores kulit ranting pohon tersebut. Tanaman adalah makhluk hidup, dan tidak ada bonsai yang dapat dikatakan selesai atau sudah jadi. Perubahan yang terjadi terus menerus pada tanaman sesuai musim atau keadaan alam merupakan salah satu daya tarik bonsai.
Jenis
Pohon yang paling umum dibonsai adalah berbagai spesies pinus. Jenis tanaman dan pohon dipakai untuk mengelompokkan jenis-jenis bonsai:[1]
• Bonsai pohon pinus dan ek: tusam, cemara cina, cemara duri, sugi, dan lain-lain.
• Bonsai pohon buah untuk dinikmati keindahan buahnya (Ilex serrata, kesemek, Chaenomeles sinensis, apel mini, dan lain-lain).
• Bonsai tumbuhan berbunga untuk dinikmati keindahan bunganya (Prunus mume,Chaenomeles speciosa, sakura, azalea satsuki).
• Bonsai pohon untuk dinikmati bentuk daunnya (maple, Zelkova serrata, Rhus succedanea, bambu).
Ada banyak sekali tanaman tropis yang telah dicoba dan ternyata cocok untuk dibonsai, di antaranya asam jawa, beringin, cemara udang, waru, dan jambu biji.[2]
Bentuk dasar
Tegak Lurus (直幹 Chokkan?)
Batang pohon tegak lurus vertikal ke atas. Pohon dikatakan memiliki batang yang ideal bila pohon memiliki diameter batang yang makin ke atas makin mengecil, dimulai dari bagian batang yang dekat dengan akar. Pohon dikatakan memiliki dahan yang ideal bila dahan ada di sisi depan-belakang atau kiri-kanan saling bersilangan satu sama lainnya. Jarak antardahan makin ke atas makin sempit. Bentuk akar ideal adalah akar yang bila dilihat dari atas, menjalar ke segala penjuru.
Tegak Berkelok-kelok (模様木 Moyogi?)
Batang pohon tegak berkelok-kelok ke kiri dan ke kanan. Diameter batang makin ke atas makin mengecil dengan keseimbangan kiri dan kanan yang baik. Dahan yang baik adalah dahan yang ada di bagian puncak lengkungan batang pohon. Dahan yang berada di bagian dalam lengkungan dipotong. Dari pangkal batang hingga bagian puncak pohon dapat ditarik garis lurus, dan orang yang melihat tidak merasa khawatir dengan keseimbangan pohon tersebut.
Miring (斜幹 Shakan?)
Batang pohon miring ke satu sisi bagaikan terus menerus ditiup angin ke arah tersebut. Bagaikan ada benda yang menghalangi di salah satu sisi, batang pohon tumbuh mencondong ke sisi lain. Ciri khas bentuk ini berupa dahan yang ada hanya di bagian puncak lengkungan batang, dan berselang-seling di sisi kiri-kanan dan depan-belakang.
Sarung Angin (吹流し Fukiganashi?)/Tertiup Angin[2]
Dibandingkan bonsai bentuk Miring, pohon tumbuh sambil mengalami paksaan yang lebih kejam. Batang dan dahan pohon hanya condong ke satu arah. Batang dan dahan pohon yang condong ke satu sisi jauh lebih panjang daripada tinggi pohon yang diukur dari pangkal batang ke puncak pohon. Posisi batang dan dahan mirip dengan bonsai gaya Setengah Menggantung, namun batang dan dahan terlihat membentuk garis paralel.
Menggantung (懸崖 Kengai?)
Pohon diibaratkan tumbuh di permukaan dinding terjal yang berada di tebing tepi laut atau dinding lembah terjal. Batang pohon tumbuh bagaikan menggantung ke bawah tebing. Puncak pohon tersebut menggantung jauh hingga melebihi dasar pot. Bila puncak pohon tidak melebihi dasar pot maka bonsai disebut Setengah Menggantung (Han Kengai).
Batang Bergelung (蟠幹 Bankan?)
Batang pohon terlihat sangat dipilin, atau pohon tumbuh dengan kecenderungan memilin diri. Batang pohon begitu terlihat dipilin bagaikan ular yang sedang bergelung.
Sapu Tegak (箒立ち Hōkidachi?)
Batang tegak lurus hingga di tengah sebelum dahan dan ranting tumbuh menyebar ke segala arah. Puncak pohon sulit ditentukan dari sejumlah puncak dahan yang ada sehingga bentuk bonsai ini mirip sapu dari bambu. Keindahan bonsai gaya ini dinilai dari percabangan dahan yang rapi, dan titik dimulainya persebaran dahan dan ranting ke segala arah, tinggi pohon, dan keseimbangan unsur-unsur tersebut.
Menonjolkan Akar (根上り Neagari?)
Akibat pohon dipelihara di lingkungan pemeliharaan yang kejam, bagian pangkal akar yang bercabang-cabang di dalam tanah menjadi terekspos ke luar di atas tanah bagaikan akibat diterpa angin dan hujan.
Berbatang Banyak (多幹 Takan?)
Dari satu pangkal akar tumbuh tegak lebih dari satu batang pohon. Bila tumbuh dua batang pohon, maka bonsai disebut Berbatang Dua (Sōkan). Bila ada tiga batang pohon, maka disebut Berbatang Tiga (Sankan). Bonsai berbatang lima atau lebih disebut Tunggul Tegak (Kabudachi). Batang berjumlah ganjil lebih disukai. Selain bonsai berbatang dua, bonsai dengan batang berjumlah genap tidak disenangi dan tidak dibuat.
Akar Terjalin (根連なり Netsuranari?)
Akar dari sejumlah batang pohon dari satu spesies (tiga batang pohon atau lebih) saling melekat dan berhubungan satu satu sama lainnya. Bentuk ini juga dapat berasal dari batang pohon yang tadinya tegak, namun roboh dan terkubur di dalam tanah. Bagian yang dulunya adalah dahan pohon, berubah peran dan tumbuh sebagai batang pohon. Dari batang pohon tersebut keluar akar, dan akar tersebut terjalin dengan akar pohon asal. Bentuk yang mirip dengan Akar Terjalin disebut Rakit atau Tumbuh dari Batang (Ikadabuki). Bonsai berbentuk Tumbuh dari Batang juga berasal dari pohon yang tadinya tegak, namun roboh dan dahan berubah peran menjadi batang. Perbedaannya dengan Akar Terjalin terletak pada akar yang hanya ada di satu tempat. Seperti halnya bonsai Berbatang Banyak, pohon berbatang genap tidak disukai.
Kelompok (寄せ植え Yoseue?)
Lebih dari satu pohon ditanam bersama dalam satu pot dangkal atau ditanam di atas batu. Pohon yang ditanam dapat saja beberapa pohon dari satu spesies, atau campuran dari beberapa spesies berbeda. Nilai kreativitas karya dapat ditinggikan dengan perpaduan benda-benda hiasan yang diletakkan sebagai tambahan.
Pohon Sastrawan (文人木 Bunjinki?)/Bebas[2]
Bentuk bonsai ini asal usulnya dari meniru bentuk pohon dalam nanga. Dinamakan bonsai bentuk Pohon Sastrawan karena sastrawan zaman Meiji sangat menggemari bonsai bentuk ini. Pada zaman sekarang, batang kurus, jumlah dahan sedikit, dan dahan pendek juga disebut Pohon Sastrawan.
Pohon Tak Lazim (代わり木 Kawariki?)
Bentuk ini dipakai untuk menyebut bonsai yang tidak dapat digolongkan ke dalam bentuk-bentuk bonsai yang lazim.
Sejarah
Bonsai berasal dari seni miniaturisasi tanaman yang disebut penjing (盆景) dari periode Dinasti Tang. Di makam putra dari Maharani Wu Zetian terdapat lukisan dinding yang menggambarkan pelayan wanita yang membawa pohon berbunga dalam pot dangkal. Pot dangkal berukuran kecil ini merupakan miniaturisasi dari pemandangan alam.[3]
Kalangan bangsawan di Jepang mulai mengenal penjing sekitar akhir zaman Heian. Aksara kanji untuk penjing (盆景) dilafalkan orang Jepang sebagai bonkei. Sama halnya dengan di Cina, bonkei di Jepang juga merupakan miniaturisasi dari pemandangan alam. Seni yang hanya dinikmati kalangan atas, terutama kalangan pejabat istana dan samurai, dan baru disebut bonsai pada zaman Edo[4]
Menanam bonsai adalah pekerjaan sambilan samurai zaman Edo, saat bonsai mencapai puncak kepopuleran. Sejak zaman Meiji, bonsai dianggap sebagai hobi yang bergaya. Namun pemeliharaan bonsai dan penyiraman memakan banyak waktu. Sejalan dengan lingkungan tempat tinggal di Jepang yang makin modern dan tidak memiliki halaman, penggemar bonsai akhirnya terbatas pada kalangan berusia lanjut.
Ukuran
Bonsai di "Foire du Valais", Swiss, 2005.
Bonsai dikelompokkan menjadi enam kelompok berdasarkan tinggi tanaman dari pangkal batang hingga bagian puncak tanaman:
raksasa: tinggi pohon lebih dari 101 cm.
sangat besar: tinggi pohon antara 76-100 cm.
besar: tinggi pohon antara 46-75 cm
sedang: tinggi pohon antara 31-45 cm
kecil: tinggi pohon antara 16-30 cm
sangat kecil: tinggi pohon kurang dari 15 cm.[2]
Referensi
^ 盆栽 (Bonsai). 日本文化いろは事典 (Nihon Bunka Iroha Jiten). Diakses pada 24 Desember 2009
^ a b c d Sulistyo, Budi; Drs.Limanto S.. Bonsai. Kanisius. hal. 9-7921-1783-0.
^ 壱のツボ 盆栽には悠久の時が宿る (Ichi no Tsubo: Bonsai ni wa Yūkyū no Toki ga Yadoru). NHK. Diakses pada 24 Desember 2009
^ 盆栽の歴史を知ろう (Bonsai no rekishi o shirou). Garden x Garden. Diakses pada 24 Desember 2009
============
Sumber; http://id.wikipedia.org/wiki/Bonsai
Read more